Sejarah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia

Awal Kemerdekaan (1945-1950)

Pada prakemerdekaan, dasar-dasar pendidikan yang dilaksanakan penjajah Belanda tidak berniat mencerdaskan kaum pribumi, namun lebih bertumpu pada kepentingan kolonial penjajah. Pada bagian ini, semangat ke-Indonesia-an yang menggelora begitu kental sebagai bagian dari membangun jatidiri dalam kalangan penduduk sebagai bangsa merdeka; maka ia sungguh dicerminkan dalam melalui usaha dan upaya arahan (instruksi) menteri saat itu yang bertujuan memompa semangat perjuangan melalui penunjukkan imaji kenegaraan, seperti mewajibkan pengibaran Bendera Indonesia dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.[2]

Organisasi kementerian yang saat itu masih bernama Kementerian Pengajaran pun masih sangat sederhana. Namun, kesadaran untuk menyiapkan kurikulum sudah dilakukan. Menteri Pengajaran yang pertama dalam sejarah Republik Indonesia adalah Ki Hadjar Dewantara. Pada kabinet Syahrir pertama, Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Mulia. Mr. Mulia melakukan berbagai langkah seperti meneruskan kebijakan menteri sebelumnya di bidang kurikulum berwawasan kebangsaan, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, serta menambah jumlah pengajar.[2]

Pada Kabinet Syahrir kedua, Menteri Pengajaran dijabat oleh Muhammad Sjafei sampai tanggal 2 Oktober 1946. Selanjutnya, Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Soewandi hingga 27 Jun 1947. Dalam kepemimpinan Soewandi inilah terbentuknya Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia. Panitia yang diketuai Ki Hadjar Dewantara ini bertujuan meletakkan dasar-dasar dan susunan pengajaran baru.[2]

Zaman Demokrasi Liberal (1951-1959)

Dapat dikatakan pada masa ini stabilitas politik menjadi sesuatu yang langka, demikian halnya dengan program yang bisa dijadikan tonggak, tidak bisa dideskripsikan dengan baik. Selama masa demokrasi liberal, sekitar sembilan tahun, telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet. Kabinet Natsir yang terbentuk tanggal 6 September 1950, menunjuk Dr. Bahder Johan sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K). Mulai bulan April 1951 Kabinet Natsir digantikan Kabinet Sukiman yang melantik Wongsonegoro mengetuai kementerian ini. Selanjutnya Dr. Bahder Johan menjabat Menteri PP dan K sekali lagi, sebelum digantikan dengan Mohammad Yamin, RM. Soewandi, Ki Sarino Mangunpranoto, dan Prof. Dr. Prijono.[2]

Pada masa ini, dasar pendidikan yang dilaksanakan merupakan kelanjutan kebijakan menteri masa sebelumnya. Yang menonjol pada zaman ini adalah lahirnya payung hukum legal formal di bidang pendidikan yaitu UU Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950.[2]

Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Dekret Presiden 5 Juli 1959 menyebabkan beralihnya pemerintahan dalam Indonesia daripada suatu sistem pemerintah berparlimen, kepada suatu sistem eksekutif

Dalam Kabinet Kerja I, 10 Juli 1959 – 18 Februari 1960, status kementerian diubah menjadi menteri muda. Kementerian yang mengurusi pendidikan dibagi menjadi tiga menteri muda. Menteri Muda Bidang Sosial Kulturil dipegang Dr. Prijono, Menteri Muda PP dan K dipegang Sudibjo, dan Menteri Muda Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat dipegang Sujono.[2]

Orde Baru (1966-1998)

Setelah Pemberontakan G30S/PKI berhasil dipadamkan, terjadilah peralihan dari demokrasi terpimpin ke demokrasi Pancasila. Era tersebut dikenal dengan nama Orde Baru dipimpinan Presiden Soeharto. Kebijakan di bidang pendidikan di era Orde Baru cukup banyak dan beragam mengingat orde ini memegang kekuasaan cukup lama yaitu 32 tahun. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kewajiban penataran P4 bagi peserta didik, normalisasi kehidupan kampus, bina siswa melalui OSIS, pengenalan Ejaan yang Disempurnakan, Kuliah Kerja Nyata (KKN) bagi mahasiswa, perintisan sekolah pembangunan, dan sebagainya. Pada zaman ini tepatnya tahun 1978 tahun ajaran baru digeser ke bulan Jun. Pembangunan infrastruktur pendidikan juga berkembang pesat pada era ini.[2]

Menteri pendidikan dan kebudayaan di era ini antara lain Dr. Daud Joesoef, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, dan Prof. Dr. Wiranto Aris Munandar.[2]

Reformasi (1998-sekarang)

Awal Reformasi

Setelah berjaya memenangkan enam kali Pemilu, Orde Baru pada akhirnya sampai pada akhir perjalanannya. Pada tahun 1998 Indonesia diterpa krisis politik dan ekonomi. Demonstrasi besar-besaran pada tahun tersebut berhasil memaksa Presiden Soeharto meletakkan jabatannya. Kabinet pertama di era reformasi adalah kabinet hasil Pemilu 1999 yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid. Pada masa ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional dengan menunjuk Dr. Yahya Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Pada tahun 2001 MPR menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam sidang istimewa MPR dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Di era pemerintahan Presiden Megawati, Mendiknas dijabat Prof. Drs. A. Malik Fadjar, M.Sc.[2]

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

Pada pemilihan Umum 2004 dan 2009, rakyat Indonesia memilih presiden secara langsung. Pada dua pemilu tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono berhasil terpilih menjadi presiden. Selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan Mendiknas secara berturut-turut dijabat oleh Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. dan Prof. Dr. Ir. Mohamad Nuh. Pada tahun 2011 istilah departemen diganti menjadi kementerian dan pada tahun 2012 bidang pendidikan dan kebudayaan disatukan kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[2]Kebijakan pendidikan di zaman reformasi antara lain perubahan IKIP menjadi universitas, reformasi undang-undang pendidikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Ujian Nasional (UN), sertifikasi guru dan dosen, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pendidikan karakter, dan lain-lain.[2]

Pemerintahan Joko Widodo

Pada masa kabinet pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Kabinet Kerja) kementerian ini dirombak dengan memisahkan, dan memasukkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi yang berubah namanya menjadi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Direktorat Jenderal lainnya (Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal, Dirjen Pendidikan Dasar, Dirjen Pendidikan Menengah, dan Dirjen Kebudayaan) tetap pada struktur, dan nomenklatur Kementerian Pendidikan, dan Kebudayaan.[3]